Aku sedang jatuh cinta dengan banyak
permainan kata, dengan manusia yang ahli mengolah bahasa, berkonspirasi dengan
alam semesta, sehingga membuat dunia seakan hanya ditebar canda dan tawa
bahagia.
Karena nyatanya aku terlalu berat dalam
memahami hidup ini, terlalu ribut dengan perkara-perkara besar, terlalu sibuk
mengurusi penyakit orang lain hingga lupa dengan penyakitku sendiri, terlalu
angkuh dengan kebenaran yang kuyakini sendiri hingga lupa kebenaran sejati
hanya milik Tuhan.
Sudjiwotedjo pernah berkata, “Benar dan salah tentu ada. Tegakkanlah segitiga.
Pada alasnya ada dua sudut, sudut benar dan sudut salah. Mari tarik lagi alas
segitiga itu. Makin ke atas, sudut benar dan sudut salah itu semakin dekat.
Dipuncaknya, kedua sudut melenyap. Itulah titik Tuhan.”
Namun setelah aku
pikir tak ada salahnya aku sombong, tapi harus aku tunjukkan kesombongan itu
kepada diriku sendiri bukan kepada orang lain apalagi kepada Tuhan. Akan aku
tunjukkan kesombongan itu kepada ego uyang menggelegak di dalam diriku dan
kepada masalah yang berdiri sama sombongnya di hadapanku. Dengan sikap sombong
yang sama besarnya dan dengan tangan teracung, aku katakan kepada masalah yang
masih berdiri kokoh di hadapanku untuk jangan sekalipun pernah berpikir bahwa
dia akan menang dariku, karena aku selalu bersama Tuhanku yang lebih besar
darinya dan lebih besar dari apapun itu.
Aku juga terkadang
terlalu khawatir dengan hidupku sendiri seolah yang aku jalani tak ada campur
tangan dari Tuhan, seakan Dia tidak punya andil dalam menunjukkan sifat Rahman
dan Rahim-Nya. Hingga aku seakan tersentak saat mendengar Mbah Tedjo berkata
seperti ini, “ Walaupun setiap manusia punya kekhawatiran sebetulnya. Menghina
Tuhan itu nggak harus nginjak-nginjak Al-Qur’an, ngga harus nginjak-nginjak
Injil, ngga harus main-mainin nama nabi-Nya. Tapi besok kita khawatir ngga bisa
makan, besok kita khawatir ngga punya jodoh, besok kita khawatir skripsi ngga
selesai itu sudah menghina Tuhan. Bahwa semuanya kan sudah diatur. Berapa
banyak orang yang tidak meludahi masjid, tidak meludahi gereja tapi khawatir
akan hidupnya.”
Aku bahkan pernah
beranggapan bahwa Indonesiaku ini sedang kacau balau, rakyatnya ditimpa
penderitaan, banyak pemerintahnya yang berkelakuan seperti hewan dan menganggap
alam marah melihat keadaan. Aku merasa bahwa Indonesiaku ini sedang berkabut,
sejauh mataku memandang hanya asap dan awan gelap seoalh tidak ada langit
terang apalagi pelangi di tiap sudutnya. Tapi setelah aku sadari ternyata
kesalahannya ada di diriku, ternyata aku lupa mengelap kacamataku yang berembun
sehingga membuat pandanganku menjadi kabur.
Seketika aku teringat
Cak Nun pernah berkata seperti ini, “ Indonesia akan mengasyikkan,
membahagiakan, menyejukkan, menyedihkan atau bahkan menjijikan tergantung pada
evolusi setiap masing-masing diri. Manusia telah dianugerahi akal, hati dan
nafsu. Maka layaknya kita mampu menyeimbangkannya. Penderitaan itu datang dari
luar diri manusia. Dengan kesabaran, penderitaan-penderitaan itu dapat diubah
jadi kenikmatan. Pemenang dalam pertarungan sejarah adalah ksatria yang
berpijak di masa kini, yang di tangan kirinya tergenggam masa lampau dan di
tangan kanannya dia usap-usap masa depan.”
Aku bahkan menjadi
malas dalam menghadapi perkara kehidupan akibat stigma yang orang lain kerap
salah artikan dari apa yang telah aku tanggapi dalam menilai proses di
kehidupan. Namun lagi-lagi aku teringat akan perkataan si Mbah Tedjo, “
Lama-lama orang males romantis karena entar disebut galau. Males peduli takut
disebut kepo. Males mendetail takut dibilang rempong. Males mengubah-ubah point
of view dalam debat takut dibilang labil. Juga, lama-lama generasi mendatang
takut berpendapat takut dikira curhat.
Maka melalui tulisan
ini aku ingin mengajak diriku sendiri untuk mencintai hidupku ini dan
Indonesiaku ini dengan sebenar-benarnya cinta, yaitu bukan cinta yang
berlandaskan alasan dan juga bukan cinta yang aku anggap sebagai bentuk
pengorbanan. Tapi dengan cinta yang sejatinya, yang dimana aku lakukan itu
karena memang aku senang dan cinta dengan itu. Sekali lagi biar aku kutip
pernyataan Mbah Sudjiwotedjo, “ Kalau aku tanya suatu hari kenapa kamu
mencintai kekasihmu dan kamu bisa menjawab, maka itu bukan cinta. Itu
kalkulasi. Cinta ngga ada karena-karena. Cinta tidak butuh pengorbanan, karena
jika kamu sudah merasa berkorban maka sudah luntur cintamu.”
Sebagai penutup dari
tulisan ini, aku kutip sepenggal kalimat nasihat dari Prof. Quraish Shihab
kepada anaknya Najwa Shihab, “ Sebenarnya yang diperhitungkan bukan jumlah
teman yang ada di sekelilingmu akan tetapi banyaknya cinta dan manfaat yang ada
di sekitarmu, sekalipun engkau jauh dari mereka.”
Akhiru da’wahum,
anilhamdulillahi robbilalamiin. Billahi fi sabililhaq fastabiqul khairat.
Wassalam.
No comments:
Post a Comment