Irfan masih
belum bisa bangkit berdiri dan melupakan semua yang telah terjadi. Masih belum
hilang di benaknya tentang janji-janji yang dulu pernah mereka sepakati, namun
dengan mudah riri ingkari dan berlalu pergi tak mau peduli. Ini bukan yang
pertama kali terjadi, bahkan sudah berkali-kali namun irfan tetap mengalami
lagi dan lagi. Seolah bagi riri,
hubungan ini hanya tempat persinggahan kala jenuh melanda harinya. Setelah
jenuh datang lagi, lalu dia pergi mencari tempat persinggahan lain yang
membuatnya bahagia kembali.
Seminggu
sudah berlalu sejak kepergian riri dari hidupnya yang masih membawa separuh
dirinya dan menciptakan ruang kosong yang cukup besar di dalam hatinya.
Beberapa orang temannya bertanya tentang keadaannya karena langkah lesu dan
tatap mata sayu yang terukir di dirinya, irfan hanya menanggapinya dengan
tersenyum dan berkata semua baik-baik saja. Irfan tahu bahwa dia tidak
baik-baik saja, untuk makan saja seakan rasa lapar sudah menghilang dari
hidupnya, tertawa bahagia pun dia sudah lupa bagaimana rasanya. Irfan tahu hatinya
masih patah, pikirannya masih resah, bahkan dalam dirinya seakan masih ada rasa
gelisah dan gundah yang menjajah.
Irfan
berbaring di kasurnya, badannya terasa lelah karena seminggu belakangan ini dia
kurang tidur, dalam sehari mungkin hanya 3 jam dia bisa mengistirahatkan
tubuhnya. Handphonenya bergetar di dalam sakunya, lalu di keluarkan dan dilihat
siapa yang menghubunginya, tertera sebuah nama di layar handphonenya “Riri
<3” yang sedang mencoba menunggu jawaban telepon darinya di seberang sana ,
irfan hanya memandanginya, tapi tidak dijawab dan tidak juga direject, hanya di
diamkan begitu saja.
5 kali
panggilan yang dilakukan oleh riri masuk ke handphonenya namun hanya dia
diamkan begitu saja. Setelah itu, handphonenya berhenti bergetar, lalu masuk
sebuah pesan Whatsapp dari riri,
“Fan”
Irfan hanya
melihatnya namun tidak membalas, ditaruh handphonenya di meja belajar lalu dia
balik ke kasur, matanya tiba-tiba terasa mengantuk dan rasa resah dihatinya
sedikit berkurang. Entah karena apa, dia tidak tahu yang dia tahu perlahan dia
sudah mulai terlelap.
Suara ayam
berkokok membangunkan irfan dari lelap tidurnya, irfan duduk mencoba
mengumpulkan kesadarannya dan agar hilang rasa pusing di kepalanya, setelah
sudah merasa agak baikan dia bangkit mengambil handphonenya untuk melihat sudah
jam berapa, karena memang tidak ada jam di kamarnya. Jam menunjukan pukul 5
pagi, dan ada dua buah pesan whatsapp yang masuk lagi ke handphonenya. Dua
pesan tersebut masih dari orang yang sama dengan yang semalam.
“fan”
“kenapa
sih fan?”
Irfan masih
enggan untuk membalas, entah kenapa rasanya jadi malas. Hanya dia diamkan
begitu saja lalu beranjak pergi ke kamar mandi.
Siang ini
irfan sudah berada di kantin kampus dengan ilmi, sahabatnya. Irfan hanya
mengantar ilmi ke kantin karena pacar ilmi, Nia, minta dibelikan martabak.
“bang,
martabaknya satu ya tapi jangan dikacangin ntar dia ngambek” pesan ilmi ke si
abangnya.
“iya ini
lagi diajak ngobrol” abangnya malah nanggapin kelakuan si ilmi.
Kita duduk
di samping dua orang bocah kecil berkepala botak dan tak mengenakan baju yang sedang asyik nonton tv.
“badan gua
ngga enak nih jo, kayanya gua kena angin duduk deh” gusar bocah yang menonton
tv sambil tengkurap.
“tenang pli,
ini anginnya lagi gua suruh berdiri” jawab bocah yang dipanggil jo sambil
menempelkan kedua tangannya di punggung temennya itu.
“kok badan
gua sekarang jadi panas ya, kayanya kemasukan kyubii juga nih” kata si pli
lagi.
“tenang aja
itu mah bisa di urus ama bapak lu, kan dia uzumaki sasuke” jawab si jo yang
lagi berusaha menyuruh angin biar berdiri.
“yaudah
panggilin dah bapak gua, kyuubinya udah numbuh buntut nih kayanya”
“tunggu
bentar lagi, bapak lagi ngobrol ama martabak”
“oh gitu,
oke dech”, lalu mereka asyik nonton lagi.
Irfan cuma
bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak kecil zaman sekarang.
“bingung gua
mi sama anak kecil zaman sekarang” irfan mengungkapkan kegelisahannya ke ilmi
yang lagi asyik main salah satu aplikasi di handphonenya yang bisa membuat
berubah jadi kaya anjing-anjingan.
“bingung
kenapa fan?” jawab ilmi masih belum beralih dari handphonenya.
“ngga ada
yang tua”
“lah iya
bener juga ya, kiamat udah deket kayanya nih”
“he’eh”
irfan mengangguk polos.
~~0~~
Irfan sudah
kembali di taman bersama ilmi dan pacarnya, Nia. Di hadapannya ilmi dan nia
sedang unjuk kemesraan, bahkan keberadaan dirinya pun seakan terabaikan. Jauh
di dalam hatinya mengandung rasa iri atas apa yang diperlihatkan sepasang
kekasih ini di hadapannya. Karena dengan riri dia tidak pernah merasakannya.
irfan mencoba mengaburkan segala ingatan yang berkaitan dengan wanita itu,
karena mengingatnya selalu membuat hatinya bertambah pilu.
Irfan
mengitarkan pandangannya ke sekeliling taman, hingga akhirnya matanya terpaku
pada seorang perempuan yang berteduh di bawah pohon beringin yang cukup
rindang.
Irfan
memperhatikan, seorang perempuan berjilbab biru dan bermata besar sedang
memainkan suling yang merupakan alat musik yang dulu sering dimainkannya saat
masih bangku sekolah dasar.
Irfan
memperhatikan dari jauh, apa yang akan dimainkan oleh perempuan itu dengan
suling tersebut. Terlihat perempuan itu memutar musik dari ipod nya. Irfan lalu
mencoba mendekat untuk memastikan lebih dekat apa yang akan terjadi.
Irfan
langsung takjub saat melihat dan mendengar apa yang dilakukan oleh perempuan
itu. Kini dihadapannya, tampak wanita itu sedang memadukan musik EDM yang
terdengar dari ipod nya dengan suling yang dia mainkan.
Hentakan lagu dari musik EDM mampu
berharmonisasi dengan alunan lembut dari suling yang dimainkan. Tampak perempuan
itu tidak menyadari kehadiran irfan yang sekarang sudah berada lima langkah di
sampingnya.
“wuuiihh
keren banget” irfan bertepuk tangan setelah permainannya selesai, yang membuat
perempuan agak sedikit kaget karena ada yang memperhatikannya.
“terima
kasih” perempuan itu tersipu malu.
“belajar
dimana bisa main keren kaya gini” irfan mendekat sehingga kini sudah ada di
hadapan perempuan itu.
“ngga kok,
ini aku otoriter” perempuan itu kini sudah berdiri.
“hah
otoriter?” irfan heran.
“iya belajar
sendiri aja” perempuan itu tersenyum.
“oh itu mah
namanya otodidak, kulit kuaci” irfan mencoba membenarkan dan menyebut
kata “kulit kuaci” itu dalam hati.
“oh maaf hehe, aku kira otodidak itu pelajaran tentang mesin”
“itu mah
otomotif’ jawab irfan melas.
“aduh maaf
salah lagi ya hehe, aku kira otomotif itu…”
“eh iya
kenalin gua irfan, dari fakultas tata boga” irfan memotong sambil menjulurkan
tangannya.
“oh, aku
dhea dari fakultas pertanian” dhea menyambut tangan irfan yang mengajaknya
bersalaman.
“wooy fan,
buruan dosennya udah masuk nih” teriak ilmi dari kejauhan.
“eh, gua
udah harus masuk kelas nih. Oh iya gua boleh minta pin bbm nya ga? Gua mau
belajar juga dong kaya tadi” irfan langsung mengeluarkan handphonenya.
“eh iya
boleh, pin aku P4N71QB4L” dhea menyebutkan pin bbmnya kepada irfan.
“sip, udah
gua add. Nanti di accept ya. Yaudah gua duluan ya udah ada dosen soalnya. Byee”
irfan berlalu meninggalkan dhea, menuju ilmi yang sudah menunggunya sambil
berfoto selfie dengan pacarnya.
Dhea hanya
tersenyum, dan tanpa irfan sadari dhea sudah menaruh rindu sejak mata mereka
saling menatap dan saat bibir mereka saling berucap. Dhea pun tak tahu apa yang
terjadi dengannya, karena sesederhana itu irfan mampu memikatnya dan
sesederhana itu juga irfan mampu menarik dirinya pada pusat galaksinya.
Dhea mencoba
menghilangkan pemikiran seperti itu, dia akan menganggap apa yang dia rasakan
seperti apa yang diberikan mendung kepada bumi, sama seperti apa yang diberikan
harapan kepada hati. hanya sebuah kemungkinan, tidak selalu pasti.
Dhea
membereskan barang-barangnya, lalu mengalungkan sulingnya lewat tali yang
dipasangnya di ujung suling berwarna merahnya. Dia keluarkan handphonenya, lalu
di acceptnya permintaan pertemanan dari irfan lalu dikirimnya sebuah pesan,
“Hai
irfan”
Dhea lalu
mulai berjalan dengan mantap menuju fakultasnya dengan senyum mengembang di
bibirnya.
Bersambung…
No comments:
Post a Comment