Biar Tangan Yang Bercerita

Wednesday, May 17, 2017

Perempuan Berkalung Suling



Irfan masih belum bisa bangkit berdiri dan melupakan semua yang telah terjadi. Masih belum hilang di benaknya tentang janji-janji yang dulu pernah mereka sepakati, namun dengan mudah riri ingkari dan berlalu pergi tak mau peduli. Ini bukan yang pertama kali terjadi, bahkan sudah berkali-kali namun irfan tetap mengalami lagi dan lagi.  Seolah bagi riri, hubungan ini hanya tempat persinggahan kala jenuh melanda harinya. Setelah jenuh datang lagi, lalu dia pergi mencari tempat persinggahan lain yang membuatnya bahagia kembali.


Seminggu sudah berlalu sejak kepergian riri dari hidupnya yang masih membawa separuh dirinya dan menciptakan ruang kosong yang cukup besar di dalam hatinya. Beberapa orang temannya bertanya tentang keadaannya karena langkah lesu dan tatap mata sayu yang terukir di dirinya, irfan hanya menanggapinya dengan tersenyum dan berkata semua baik-baik saja. Irfan tahu bahwa dia tidak baik-baik saja, untuk makan saja seakan rasa lapar sudah menghilang dari hidupnya, tertawa bahagia pun dia sudah lupa bagaimana rasanya. Irfan tahu hatinya masih patah, pikirannya masih resah, bahkan dalam dirinya seakan masih ada rasa gelisah dan gundah yang menjajah.

Irfan berbaring di kasurnya, badannya terasa lelah karena seminggu belakangan ini dia kurang tidur, dalam sehari mungkin hanya 3 jam dia bisa mengistirahatkan tubuhnya. Handphonenya bergetar di dalam sakunya, lalu di keluarkan dan dilihat siapa yang menghubunginya, tertera sebuah nama di layar handphonenya “Riri <3” yang sedang mencoba menunggu jawaban telepon darinya di seberang sana , irfan hanya memandanginya, tapi tidak dijawab dan tidak juga direject, hanya di diamkan begitu saja.

5 kali panggilan yang dilakukan oleh riri masuk ke handphonenya namun hanya dia diamkan begitu saja. Setelah itu, handphonenya berhenti bergetar, lalu masuk sebuah pesan Whatsapp dari riri,

Fan

Irfan hanya melihatnya namun tidak membalas, ditaruh handphonenya di meja belajar lalu dia balik ke kasur, matanya tiba-tiba terasa mengantuk dan rasa resah dihatinya sedikit berkurang. Entah karena apa, dia tidak tahu yang dia tahu perlahan dia sudah mulai terlelap.

Suara ayam berkokok membangunkan irfan dari lelap tidurnya, irfan duduk mencoba mengumpulkan kesadarannya dan agar hilang rasa pusing di kepalanya, setelah sudah merasa agak baikan dia bangkit mengambil handphonenya untuk melihat sudah jam berapa, karena memang tidak ada jam di kamarnya. Jam menunjukan pukul 5 pagi, dan ada dua buah pesan whatsapp yang masuk lagi ke handphonenya. Dua pesan tersebut masih dari orang yang sama dengan yang semalam.

“fan”

“kenapa sih fan?”

Irfan masih enggan untuk membalas, entah kenapa rasanya jadi malas. Hanya dia diamkan begitu saja lalu beranjak pergi ke kamar mandi.

Siang ini irfan sudah berada di kantin kampus dengan ilmi, sahabatnya. Irfan hanya mengantar ilmi ke kantin karena pacar ilmi, Nia, minta dibelikan martabak.

“bang, martabaknya satu ya tapi jangan dikacangin ntar dia ngambek” pesan ilmi ke si abangnya.

“iya ini lagi diajak ngobrol” abangnya malah nanggapin kelakuan si ilmi.

Kita duduk di samping dua orang bocah kecil berkepala botak dan tak mengenakan baju yang sedang asyik nonton tv.

“badan gua ngga enak nih jo, kayanya gua kena angin duduk deh” gusar bocah yang menonton tv sambil tengkurap.

“tenang pli, ini anginnya lagi gua suruh berdiri” jawab bocah yang dipanggil jo sambil menempelkan kedua tangannya di punggung temennya itu.

“kok badan gua sekarang jadi panas ya, kayanya kemasukan kyubii juga nih” kata si pli lagi.

“tenang aja itu mah bisa di urus ama bapak lu, kan dia uzumaki sasuke” jawab si jo yang lagi berusaha menyuruh angin biar berdiri.

“yaudah panggilin dah bapak gua, kyuubinya udah numbuh buntut nih kayanya”

“tunggu bentar lagi, bapak lagi ngobrol ama martabak”

“oh gitu, oke dech”, lalu mereka asyik nonton lagi.

Irfan cuma bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak kecil zaman sekarang.

“bingung gua mi sama anak kecil zaman sekarang” irfan mengungkapkan kegelisahannya ke ilmi 
yang lagi asyik main salah satu aplikasi di handphonenya yang bisa membuat berubah jadi kaya anjing-anjingan.

“bingung kenapa fan?” jawab ilmi masih belum beralih dari handphonenya.

“ngga ada yang tua”

“lah iya bener juga ya, kiamat udah deket kayanya nih”

“he’eh” irfan mengangguk polos.
~~0~~

Irfan sudah kembali di taman bersama ilmi dan pacarnya, Nia. Di hadapannya ilmi dan nia sedang unjuk kemesraan, bahkan keberadaan dirinya pun seakan terabaikan. Jauh di dalam hatinya mengandung rasa iri atas apa yang diperlihatkan sepasang kekasih ini di hadapannya. Karena dengan riri dia tidak pernah merasakannya. irfan mencoba mengaburkan segala ingatan yang berkaitan dengan wanita itu, karena mengingatnya selalu membuat hatinya bertambah pilu.

Irfan mengitarkan pandangannya ke sekeliling taman, hingga akhirnya matanya terpaku pada seorang perempuan yang berteduh di bawah pohon beringin yang cukup rindang.

Irfan memperhatikan, seorang perempuan berjilbab biru dan bermata besar sedang memainkan suling yang merupakan alat musik yang dulu sering dimainkannya saat masih bangku sekolah dasar.

Irfan memperhatikan dari jauh, apa yang akan dimainkan oleh perempuan itu dengan suling tersebut. Terlihat perempuan itu memutar musik dari ipod nya. Irfan lalu mencoba mendekat untuk memastikan lebih dekat apa yang akan terjadi.

Irfan langsung takjub saat melihat dan mendengar apa yang dilakukan oleh perempuan itu. Kini dihadapannya, tampak wanita itu sedang memadukan musik EDM yang terdengar dari ipod nya dengan suling yang dia mainkan.

Hentakan lagu dari musik EDM mampu berharmonisasi dengan alunan lembut dari suling yang dimainkan. Tampak perempuan itu tidak menyadari kehadiran irfan yang sekarang sudah berada lima langkah di sampingnya.

“wuuiihh keren banget” irfan bertepuk tangan setelah permainannya selesai, yang membuat perempuan agak sedikit kaget karena ada yang memperhatikannya.

“terima kasih” perempuan itu tersipu malu.

“belajar dimana bisa main keren kaya gini” irfan mendekat sehingga kini sudah ada di hadapan perempuan itu.

“ngga kok, ini aku otoriter” perempuan itu kini sudah berdiri.

“hah otoriter?” irfan heran.

“iya belajar sendiri aja” perempuan itu tersenyum.

“oh itu mah namanya otodidak, kulit kuaci” irfan mencoba membenarkan dan menyebut kata “kulit kuaci” itu dalam hati.

“oh  maaf hehe, aku  kira otodidak itu pelajaran tentang mesin”

“itu mah otomotif’ jawab irfan melas.

“aduh maaf salah lagi ya hehe, aku kira otomotif itu…”

“eh iya kenalin gua irfan, dari fakultas tata boga” irfan memotong sambil menjulurkan tangannya.

“oh, aku dhea dari fakultas pertanian” dhea menyambut tangan irfan yang mengajaknya bersalaman.

“wooy fan, buruan dosennya udah masuk nih” teriak ilmi dari kejauhan.

“eh, gua udah harus masuk kelas nih. Oh iya gua boleh minta pin bbm nya ga? Gua mau belajar juga dong kaya tadi” irfan langsung mengeluarkan handphonenya.

“eh iya boleh, pin aku P4N71QB4L” dhea menyebutkan pin bbmnya kepada irfan.

“sip, udah gua add. Nanti di accept ya. Yaudah gua duluan ya udah ada dosen soalnya. Byee” irfan berlalu meninggalkan dhea, menuju ilmi yang sudah menunggunya sambil berfoto selfie dengan pacarnya.

Dhea hanya tersenyum, dan tanpa irfan sadari dhea sudah menaruh rindu sejak mata mereka saling menatap dan saat bibir mereka saling berucap. Dhea pun tak tahu apa yang terjadi dengannya, karena sesederhana itu irfan mampu memikatnya dan sesederhana itu juga irfan mampu menarik dirinya pada pusat galaksinya.

Dhea mencoba menghilangkan pemikiran seperti itu, dia akan menganggap apa yang dia rasakan seperti apa yang diberikan mendung kepada bumi, sama seperti apa yang diberikan harapan kepada hati. hanya sebuah kemungkinan, tidak selalu pasti.

Dhea membereskan barang-barangnya, lalu mengalungkan sulingnya lewat tali yang dipasangnya di ujung suling berwarna merahnya. Dia keluarkan handphonenya, lalu di acceptnya permintaan pertemanan dari irfan lalu dikirimnya sebuah pesan,

“Hai irfan”

Dhea lalu mulai berjalan dengan mantap menuju fakultasnya dengan senyum mengembang di bibirnya.


Bersambung…

No comments:

Post a Comment